Beranda | Artikel
Agar Kita Turut Merasakan Indahnya Ramadhan
Senin, 17 Oktober 2022

marhaban

Tamu agung itu sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang pada tahun lalu masih berpuasa bersama kita, bertarawih dan beridul fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang berbaring di peristirahatan umum ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?

Dalam dua buah hadits berikut, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan:

Golongan pertama digambarkan oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,

“مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Golongan kedua digambarkan beliau shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,

“رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ

“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga”. HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Al-Hakim menilainya sahih. Syaikh al-Albani berkata: hasan sahih.

Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung taufiq dari Allah ta’ala dan usaha kita.

Bulan Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut[1]:

@ Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah ta’ala.

Syaikhul Islam menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufiq dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya”.

Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah ta’ala dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba, agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.

Syaikhul Islam menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan kondisi sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:

  1. Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah ta’ala dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya.

Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwasanya salah satu indikasi taufiq Allah ta’ala kepada insan adalah pertolongan-Nya untuknya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.

Menghadirkan rasa tawakkal kepada Allah ta’ala adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; guna menumbuhkan rasa papa, tak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufiq dari Allah ta’ala.

Selanjutnya, seyogyanya kita juga memohon kepada Allah ta’ala agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah ta’ala membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufiq Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.

Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ta’ala ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:

“وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً”

Artinya: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah”. QS. An-Nisa: 28.

Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufiq-Nya pada kita.

  1. Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Dua hal inilah yang merupakan syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Antara lain: Firman Allah ta’ala,

“وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ”

Artinya: “Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya”. QS. Al-Bayyinah: 5.

Dan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak”. HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha.

  1. Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istighfar atas kekurangsempurnaannya dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah ta’ala Yang telah memberinya taufiq sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengkombinasikan antara hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.

Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun!. Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.

Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub. Pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri karena bisa begini dan begitu, serta silau dengan amalannya; berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.

Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah,

فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ . ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ”.

Artinya: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka”. QS. Al-A’raf: 16-17.

@ Kiat kedua: Bertaubat sebelum Ramadhan tiba.

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat. Di antaranya: firman Allah ta’ala,

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ”

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” QS. At Tahrim: 8.

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorangpun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ”

Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat“. HR. Tirmidzi dari Anas radhiyallahu’anhu dan isnadnya dinilai sahih oleh al-Hakim.

Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufiq Allah ta’ala, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal shalih. Ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiyat[2]. Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah ta’ala akan menganugerahi taufiq kepadanya kembali.

Hakikat taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:

  1. Meninggalkan maksiat.
  2. Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
  3. Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
  4. Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya[3].

Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berkerudung di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.

Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.

@ Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya.

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkatagori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ”.

“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya)”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menyampaikan petuahnya,

“إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَحَارِمِ وَدَعْ أَذَى الْجَارِ, وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِيْنَةٌ يَوْمَ صَوْمِكَ, وَلاَ تَجْعَلْ يَوْمَ صَوْمِكَ وَيَوْمَ فِطْرِكَ سَوَاء”.

“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu juga turut berpuasa dari dusta serta hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama”[4].

Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti taqwa, “Taqwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan, “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampuradukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai taqwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.

Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’, ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman; seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa”.

@ Kiat Keempat: Memprioritaskan amalan yang wajib.

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi bahwa Allah ta’ala berfirman,

“وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ“.

“Tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Di antara aktifitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjama’ah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits,

“مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ؛ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ”.

“Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam; akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan.’ Bebas dari api neraka dan dari nifaq”. HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani.

Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!?. Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban!.

Sungguh, hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.

@ Kiat Kelima: Berusaha Untuk Mendapatkan Lailatul Qadar.

Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya al-Qur’an[5], dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat[6], dialah malam yang berbarakah[7], dialah malam yang yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan (83 tahun plus 4 bulan)![8]. Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah ta’ala maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya[9].

Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.

Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh?

Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

“تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ”.

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”. HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah.

Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ“.

“Carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”. HR. Bukhari dari Aisyah.

Tapi di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29?.

Pernah di suatu tahun pada zaman Nabi shallallahu’alaihiwasallam lailatul qadar jatuh pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa di pagi hari tanggal 21 Ramadhan tahun itu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ“.

“Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qadar (malam tadi)”. HR.Bukhari dan Muslim[10].

Pernah pula di suatu tahun lailatul qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab radhiyallahu’anhu berkata,

“وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا وَأَكْثَرُ عِلْمِي هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ”.

“Demi Allah aku mengetahuinya (lailatul qadar), perkiraan saya yang paling kuat dia jatuh pada malam yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memerintahkan kami untuk bangun malam di dalamnya, yaitu malam dua puluh tujuh”. R. Muslim[11].

Pada tahun yang lain, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memerintahkan para sahabatnya untuk mencari lailatul qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan Ramadhan,

“فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ”.

“Barang siapa yang ingin mencarinya (lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadhan)”. HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma.

Cara memadukan antara hadits-hadits tersebut di atas: dengan mengatakan bahwa lailatul qadar dari tahun ketahun berpindah-pindah dari satu malam yang ganjil ke malam ganjil lainnya, akan tetapi tidak keluar dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan[12].

Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:

  1. Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa dan membaca al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir ramadhan terutama malam yang ganjil.
  2. Sebagai ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya[13].

Maka seharusnya kita berusaha maksimal (all out) pada sepuluh hari itu; menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu agar kita bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang tidak berusaha mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar jatuh pada tanggal ini atau itu, walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada…

Nabi shallallahu’alaihiwasallam telah memberikan tauladan, sebagaimana direkam istri beliau; Aisyah radhiyallahu’anha,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ“.

“Nabi shallallahu’alaihiwasallam jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’ (meninggalkan hubungan suami istri), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya”. HR. Bukhari dan Muslim.

@ Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan sebagai madrasah untuk melatih diri beramal shalih, yang terus dibudayakan setelah berlalunya bulan suci ini.

Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.

Allah ta’ala memerintahkan,

“وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ”.

Artinya: “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ajal”. QS. Al-Hijr: 99.

Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,

“إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ لِعَمَلِ الْمُؤْمِنِ أَجَلاً دُوْنَ الْمَوْتِ”.

“Sesungguhnya Allah ta’ala tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya”.

Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjama’ah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca al-Qur’an, doa dan dzikir, rajin menghadiri majlis taklim dan gemar bershadaqah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.

“كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ“.

“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan”. HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma.

Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab,

“بِئْسَ الْقَوْم! لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ إِلاَّ فِي رَمَضَانَ”.

“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”.

Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.

Wallahu ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi ajma’in.

 

Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1430 H / 8 Agustus 2009 M

Daftar Pustaka:

  1. 1. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
  2. 2. Asy-Syarh al-Mumti’.
  3. 3. Fath al-Bari.
  4. 4. Latha’if al-Ma’arif.
  5. 5. Majalis Syahr Ramadhan.
  6. 6. Riyadh ash-Shalihin.
  7. 7. Shahih Bukhari.
  8. 8. Shahih Muslim.
  9. 9. Sunan Tirmidzi.

 

 


[1]Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah”, nasehat yang disampaikan oleh guru kami Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun.

[2] Lihat dampak-dampak dari maksiat dalam kitab ad-Dâ’ wa ad-Dawâ’ karya Ibnul Qayyim, dan adz-Dzunûb wa Qubhu Âtsâriha ‘alâ al-Afrâd wa asy-Syu’ûb karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48.

[3] Lihat: Riyadh ash-Shalihin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38.

[4] Lathâ’if al-Ma’ârif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292.

[5] QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3.

[6] QS. Al-Qadar: 4.

[7] QS. Ad-Dukhan: 3.

[8] QS. Al-Qadar: 3.

[9] HR. Bukhari dan Muslim.

[10] HR. Bukhari (no: 2016) dan Muslim (no: 1167).

[11] R.Muslim (no: 762).

[12] Lihat: Fath al-Bari karya Ibnu Hajar, dan asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin (6/493-495).

[13] Majalis Syahr Ramadhan, karya Syaikh al-‘Utsaimin hal: 163.


Artikel asli: https://tunasilmu.com/agar-kita-turut-merasakan-indahnya-ramadhan/